add menu navigasi

Rabu, 24 Juni 2015

Sepotong Kenangan

Diikutsertakan untuk Ramadhan giveaway dengan tema Wedding


Sungguh. Aku tidak pernah mengira jika Tuhan kembali mempermainkan kita dalam takdir-Nya. Tuhan kembali mempertemukan kita saat hujan pertama bulan Januari. Padahal selama 14 bulan aku berusaha mati-matian agar tidak bertemu denganmu, baik itu secara sengaja maupun tidak sengaja seperti saat ini. Kamu menyapaku dengan suara baritone yang entah mengapa terdengar bagaikan nyanyian surgawi ditelingaku. Aku menoleh, dan kamu tersenyum. Senyum yang begitu indah, bahkan lebih indah dari kepak-kepak sayap malaikat yang turun dari surga.

Ditemani suara gemericik air hujan, kita berbincang tentang banyak hal. Kamu bertanya mengapa aku selama ini seolah menghilang? Lantas kamu tersenyum. Senyum itu lagi. Kamu tahu? Hanya dengan melihat senyummu aku merasa jantungku merosot—berpindah tempat ke perut, tulang-tulangku luruh sehingga aku tidak mempunyai kekuatan untuk menyangga tubuhku sendiri, pasokan kata yang kumiliki tiba-tiba saja menghilang sehingga aku tidak kuasa menjawab pertanyaan-pertanyaanmu.

“Kamu baik-baik saja?” kamu bertanya, memecah keheningan yang terjadi diantara kita. Sebenarnya suasana tidak sepenuhnya hening. Suara gemericik air hujan yang mengenai atap halte dan aspan jalan terdengar berirama dan juga suara gerutuan maupun umpatan yang keluar dari mulut orang-orang lain yang berteduh di halte ini.

Aku menggeleng, tersenyum samar. Aku tidak bisa membohongi perasaanku. Aku tidak bisa melupakan bagaimana pedihnya hidupku setelah kamu pergi. Kamu tidak akan pernah tahu selama 14 bulan aku menjalani hidup yang luar biasa pedih. Setiap hari aku mengompres kantung mataku dengan teh celup agar orang-orang disekitarku tidak mengetahui jika mataku sembab. Setiap hari aku mendengarkan lagu patah hati, melihat film percintaan yang berakhir tragis. Selama 14 bulan aku meminimalkan jam keluar rumah agar aku tidak bertemu denganmu. Tapi sekarang aku malah terjebak hujan di halte bersamamu. Dan bertemu denganmu membuatku kembali membuka luka lama.

“Maafkan aku Na, semua ini salahku”

“Semua sudah berlalu Wok, tidak ada yang perlu disalahkan. Kamu pernah bilang padaku jika hidup untuk masa depan bukan masa lalu, tapi kenapa sekarang kita mengungkit masa lalu?” sungguh, aku tidak menyangkan jika aku bisa berujar sebijak ini saat hatiku sedang menjerit. Terkadang menutupi perasaan dan menjadi sok bijak itu perlu. Aku tidak ingin kamu kembali mengungkin masa lalu kita. Kamu harus tahu selama 14 bulan aku mati-matian mengubur masa lalu kita rapat-rapat.

Aku masih masih ingat betul pertama kali kita bertemu. Bagiku, tidak ada yang lebih indah daripada melihat seorang lelaki sedang memainkan piano dengan penuh penghayatan. Pada beberapa nada tertentu kamu memejamkan matamu; menikmati musik yang kamu mainkan. Aku menyukai ekpresimu saat kamu salah memencet tust piano. Kamu begitu lihai menutupi kesalahanmu dalam memainkan piano. Mungkin semua orang di kafe ini tidak tahu jika nada yang kamu mainkan salah, tapi aku mengetahuinya, karena aku seorang pengamat musik.

Setelah selesai memainkan pianomu, kamu duduk di pojok café, duduk dengan khidmad sembari memandang kerlap-kerlip kota Surabaya. Kamu tampaknya sedang menunggu seseorang, aku bisa tahu karena setiap dua menit sekali aku melihatmu  selalu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganmu.

Aku melihatmu beranjak dari tempat dudukmu. Mungkin kamu lelah menunggu atau mungkin kamu hanya memiliki waktu yang terbatas karena harus menghibur di salah satu café lagi setelah ini. Kamu mengambil hanphone-mu yang tergeletak dimeja lantas berjalan begitu tergesa-gesa sehingga tanpa sengaja jaket yang kamu kenakan menyangkut dimejaku. Kamu membungkuk berkali-kali, meminta maaf padaku. Aku hanya tersenyum. Berkata jika aku menyukai permainmu meskipun aku mendengar beberapa nada yang salah. 

“Aku tidak menyangka jika ada orang yang mampu mengetahui jika aku salah nada” ujarmu. Dan deret kata yang mengalun dari mulutmu membuaiku dalam syahdu. Untuk kesekian kalinya kamu melirik arloji lalu kamu tersenyum dan pergi. Kamu pergi membawa sepotong hatiku. Dan sepotong hatiku yang lain penuh oleh perasaan bahagia.

Seminggu setelah pertemuan kita di café itu, Tuhan mempertemukan kita—lagi. Aku melihatmu, terkantuk-kantuk di sebuah perpustakaan. Aku ragu-ragu menghampirimu. 
“Bolehkah aku duduk di sini?” ragu-ragu aku bertanya, takut jika kedadatanku menganggumu. Kamu menoleh, mengangguk singkat.

“Aku tidak menyangka jika kita akan bertemu lagi Nona…” alismu terangkat, mungkin kamu bingung akan memanggilku dengan nama apa, karena sejak saat pertama bertemu kita belum berkenalan.

“Lianna, namaku Lianna”aku berseru. Entah kenapa saat melihat alismu yang terangkat, aku merasa kau adalah satu-satunya kebahagiaan yang Tuhan ciptakan untukku.

“Bowo” kamu tertawa, mengulurkan tanganmu. Dan tanpa berpikir panjang aku menjabat tanganmu. Aku masih ingat saat getar-getar itu hadir dihatiku, dipermukaan kulitku bahkan dialiran darah yg mengalir ditubuhku.

***

“Seharusnya dulu kita tidak begitu mudah menyerah atas perasaan kita. Dan memperjuangkan kebahagiaan kita” kamu ragu-ragu berkata demikian. Seorang pedangan asongan yang juga berteduh di halte menawarkan minuman hangat, kamu membeli dua gelas kopi dan segelas teh. Kamu memberikan segelas kopi padaku. Katamu kopi ini untuk penghangat badan, tapi bagiku kopi ini untuk penghangat hati. 

Diam-diam aku melirikmu. Kulihat kamu tengah meniup-niup kopi, meminumnya. Lalu meniup-niup teh, meminumnya. Dari dulu aku selalu menyukai caramu meminum teh dan kopi secara bersamaan. Terlihat unik dan lucu. Aku masih ingat kamu pernah bilang padaku jika kamu sudah biasa menjalani hidup yang hambar seperti kopi pahit dan teh manis yang diminum secara bersamaan. Begitu juga dengan cinta. Katamu, jika terlalu banyak memberi gula dalam cinta, bukan manis yang akan didapat tetapi pahitlah yang didapat. Sedangkan jika terlalu banyak memberi kopi maka tidak akan pernah bisa merasakan manisnya cinta. Yang menjadi masalah disini adalah  kamu orang yang begitu percaya dengan filosofi kopi dan teh mengajakku membicarakan masa lalu. Apa kamu ingin mengajakku berdamai dengan masa lalu? Atau kamu hanya ingin aku membuka kembali kenangan lama yg telah kukubur rapat-rapat?

 “Tidak ada gunanya mengungkit masa lalu Wok” sepertinya hujan sudah mulai reda, namun kilat-kilat petir masih terdengar. Beberapa orang yang berteduh di halte satu-persatu mulai pergi; kembali melakukan aktivitas mereka. Tinggal aku dan Bowo yang masih di sini, mencoba merangkai kembali kepingan-kepingan masa lalu.

“seharusnya dulu kita jujur tentang apa yang terjadi diantara kita, seherusnya kita tidak membiarkan kakekmu menikahi bibiku karena daripada mereka kita lebih dulu menjalin hubungan, kita yang seharusnya menikah bukan mereka. Rencana pernikahan yang telah kita rencanakan sebagai kejuatan untuk kakekmu--keluargamu satusatunya--dan keluargaku gagal begitu saja karena kedekatan kakekmu dan bibiku"

Aku tersenyum. Ah penyesalan pasti datang terlambat. “Untuk apa kita membicarakan ini Wok? Toh semua sudah terjadi. Kamu pamanku, dan aku keponakanmu. Jadi tidak sepantasnya kita membicarakan masa lalu, tidak sepantasnya kita mengusik kebahagiaan kakekku dan bibimu”
Kamu menunduk, patah-patah meminum kopi dan teh secara bersamaan. “Aku tidak baik-baik saja” katamu pelan, bersamaan dengan petir yang menggelegar kencang. Aku mengangkat alis. Sungguh, aku tak pernah mengira jika kamu juga mengalami patah hati atas kejadiaan ini.

Kamu mendesah pelan “Setelah upacara pernikahan itu aku menjalani hidup yang begitu pedih dari pada yang kau kira. Aku membutuhkan waktu 6 bulan untuk percaya dengan fakta jika kau tidak bersamaku lagi, jika wanita yg selama ini kucintai telah menjadi keponakanku. Dan butuh waktu 6 bulan pula aku mencoba melapangkan hati; menerima kenyataan jika semua yang pernah kita lalui hanya kenangan, semua yang kita lalui hanya kesia-siaan belaka. Namun aku gagal. Aku mencarimu dua bulan terakhir, tapi saat menemukanmu kau seolah tidak perduli terhadapku”. Akhirnya kamu mengatakannya. Entah mengapa aku merasa kalimat ini telah lama kau pendam. Dan aku merasa luka dihatiku yang belum mengering itu terbuka kembali.

“Lianna?” kamu membangunkanku dari keheningan yang selama beberapa menit ku buat. Aku tersenyum getir; menahan rasa sakit yang menohok ulu hati.

“Setahun lebih telah berlalu, setahun lebih kita mengorbankan perasaan kita, setahun lebih kita menderita karena keadaan ini. Sekarang dengarkanlah aku, ayo kita memperjuangkan cinta kita, ayo berbicara kepada kakekmu dan bibiku tentang kita. Tidak sepantasnya kita menderita seperti ini, tidak sepantasnya kita mengorbankan kebahagiaan kita demi orang lain”. Kamu berkata pelan, bahkan lebih pelan dari pada desau angin, tapi samar-samar aku masih bisa mendengarnya.
Aku mengernyitkan dahi “orang lain katamu Wok? Mereka kakekku dan bibimu. Kamu menganggap bibimu orang lain?

Kamu terdiam, menatap awan hitam di langit yang menggantungkan kesedihan. Hujan benar-benar telah reda. Orang-orang yang berteduh di halte ini juga sudah pergi. Namun kita masih duduk di halte ini, ditemani bulan sabit yang malu-malu mengintip di balik awan—seolah bulan sabit itu mengejek kita dan juga ditemani kesedihan yang dibawa oleh hujan

“Tapi aku tidak sanggup jika harus hidup seperti ini Na, kalau aku tidak bisa memilikimu di kota ini, ikutlah denganku merantau di kota yang begitu jauh. Kita akan menikah di kota itu”

Aku terbatuk, kaget dengan ide gilamu itu. Aku menghela nafas berkali-kali mencoba mengumpulkan keberanian “Bowo, pamanku. Aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku tahu bagaimana rasanya memiliki keponakan yang umurnya hanya terpaut 3 tahun denganmu, aku tahu bagaimana rasanya hidup demi kebahagiaan orang lain. Tapi apa kamu tidak sadar? Dulu kakekku sakit-sakitan tapi setelah bertemu dan menikah dengan bibimu, kondisi fisik beliau membaik. Kita memang mengorbankan perasaan kita untuk kebahagiaan orang lain, namun kita juga menebarkan kebahagiaan                                    Wok”.

“Aku tahu ini sulit, bagaimanapun juga dalam setiap helaan nafasku aku masih memikirkanmu, dalam setiap do’a yang kupanjatkan selepas sholat masih terselip namamu. Namun aku berusaha mati-matian untuk melupakanmu. Kamu juga harus berusaha mati-matian untuk melupakanku ya, Wok. Kamu  tahu Wok setelah upacara pernikahan itu aku menjadi tahu banyak hal, salah satunya aku tahu jika tuhan tidak menuliskan namamu dibuku takdirku”. 

Aku mendesah perlahan, menepuk-nepuk blazerku yang basah karena terkena hujan lantas beranjak pergi. Aku pergi meninggalkanmu yang tengah mematung sendirian di halte, biarkan aku pergi membawa sepotong kenangan kita. Aku mencintaimu tapi aku tidak ingin menorbankan kebahagiaan keluargaku hanya demi egoku saja. Semoga kamu bisa menerima kenyataan ini dan menemukan wanita yang lebih baik dari pada aku.