add menu navigasi

Rabu, 15 Juli 2015

Cinta Dalam Keabadian

Ia merasa kecil dan tak berguna. Bukan karena tidak bisa meraih cita-cita, tapi karena ia tidak bisa meraih cintanya. Empat tahun terakhir ia menghabiskan waktunya hanya untuk mengirim kado pada gadis-gadis di sekitar komplek perumahan tempat tinggalnya, berharap salah satu diantara mereka menerima cintanya dan hidup bahagia selamanya, seperti dongeng-dongeng disney yang biasa ia lihat saat kecil. Namun, tak ada satupun dari mereka yang memberi harapan padanya. Ia berfikir jika ia terlalu percaya diri mempunyai pendamping hidup yang cantik dengan wajahnya pas-pasan. Lalu ia memutuskan memberi kado untuk gadis berwajah pas-pasan seperti dirinya. Lagi-lagi tidak ada seorangpun yang memberinya harapan.

Ia putus asa karena tak kunjung mendapat cinta. Sebenarnya ia sudah memperoleh semuanya, wajah yang tampan, sehat jasmani dan rohani, karir yang cemerlang sebagai seorang konsultan ekonomi, harta yang berlimpah, keluarga yang mendukungnya. Namun apalah arti kesempurnaan hidupnya jika ia tak mendapatkan cinta. 

Sang kakak memintanya untuk mengirim kado kepada janda. Katanya ia terlalu tua untuk memiliki cinta dari seorang gadis. Tentu saja ia tidak mau, ia masih 33 tahun. Mana ada umur 33 tahun terlalu tua? 

Ia berteman dengan kesendirian yang ia buat sendiri. Nestapa dan pilu menggerogoti tubuhnya setiap detik. Setiap pergantian hati ia terlihat semakin layu dan tak bersemangat. Di tengah keputusasaannya ia menuruti ide gila kakaknya, mengirim kado kepada janda, berharap ada janda yang bisa menghapus rasa pilu hatinya dengan cinta. Namun cinta tak kunjung datang jua.

Hingga suatu hari ia bertemu Nona Senja. Ia merasa lahir kembali, ia seperti Ken dalam serial berbie, seperti pangeran-pangeran dari kerajaan seberang di film-film disney. Setiap hari ia wajahnya terlihat semakin segar dan tampan karena kebahagiaan menyelimutinya, pilu dan nestapa berganti menjadi canda dan tawa. 

Namun, ia hanya bertemu Nona Senja di dalam mimpi. Ia tidak bisa memiliki Nona Senja dikehidupan nyata karena sejatinya Nona Senja hanyalah imajinasi yang terbuat dari kesedihannya.

Suatu hari dimimpinya, Nona Senja memintanya untuk bertemu di segitiga bermuda. Kau tahu kan, cinta selalu saja membuat orang tidak waras, dan kini seorang konsultan ekonomi hebat tidak waras juga di buatnya. Demi cintanya dengan Nona Senja, ia membeli kapal pesiar termahal untuk berlayar ke segitiga bermuda. Keluarganya melarangnya, namun ia tetap dalam pendiriannya. Tetap ke segitiga bermuda, menemui cintanya.

Perjalanan itu memakan waktu berhari-hari. Persediaan makanan yang ia bawa sudah habis, namun cintanya Untuk Nona Senja kian membara.

Namun, perjuangannya tidak berakhir bahagia. Kapal yang dinaikinya tenggelam di hantam ombak di samudra pasific. Ia, Pangeran Petir yang dijauhi semua wanita karena jari-jemarinya mengeluarkan petir jika bersentuhan dengan kulit wanita yang bukan berasal dari keluarganya. Tapi, percayalah. Pangeran Petir masih mencintai Nona Senja dalam keabadian.

Rabu, 24 Juni 2015

Sepotong Kenangan

Diikutsertakan untuk Ramadhan giveaway dengan tema Wedding


Sungguh. Aku tidak pernah mengira jika Tuhan kembali mempermainkan kita dalam takdir-Nya. Tuhan kembali mempertemukan kita saat hujan pertama bulan Januari. Padahal selama 14 bulan aku berusaha mati-matian agar tidak bertemu denganmu, baik itu secara sengaja maupun tidak sengaja seperti saat ini. Kamu menyapaku dengan suara baritone yang entah mengapa terdengar bagaikan nyanyian surgawi ditelingaku. Aku menoleh, dan kamu tersenyum. Senyum yang begitu indah, bahkan lebih indah dari kepak-kepak sayap malaikat yang turun dari surga.

Ditemani suara gemericik air hujan, kita berbincang tentang banyak hal. Kamu bertanya mengapa aku selama ini seolah menghilang? Lantas kamu tersenyum. Senyum itu lagi. Kamu tahu? Hanya dengan melihat senyummu aku merasa jantungku merosot—berpindah tempat ke perut, tulang-tulangku luruh sehingga aku tidak mempunyai kekuatan untuk menyangga tubuhku sendiri, pasokan kata yang kumiliki tiba-tiba saja menghilang sehingga aku tidak kuasa menjawab pertanyaan-pertanyaanmu.

“Kamu baik-baik saja?” kamu bertanya, memecah keheningan yang terjadi diantara kita. Sebenarnya suasana tidak sepenuhnya hening. Suara gemericik air hujan yang mengenai atap halte dan aspan jalan terdengar berirama dan juga suara gerutuan maupun umpatan yang keluar dari mulut orang-orang lain yang berteduh di halte ini.

Aku menggeleng, tersenyum samar. Aku tidak bisa membohongi perasaanku. Aku tidak bisa melupakan bagaimana pedihnya hidupku setelah kamu pergi. Kamu tidak akan pernah tahu selama 14 bulan aku menjalani hidup yang luar biasa pedih. Setiap hari aku mengompres kantung mataku dengan teh celup agar orang-orang disekitarku tidak mengetahui jika mataku sembab. Setiap hari aku mendengarkan lagu patah hati, melihat film percintaan yang berakhir tragis. Selama 14 bulan aku meminimalkan jam keluar rumah agar aku tidak bertemu denganmu. Tapi sekarang aku malah terjebak hujan di halte bersamamu. Dan bertemu denganmu membuatku kembali membuka luka lama.

“Maafkan aku Na, semua ini salahku”

“Semua sudah berlalu Wok, tidak ada yang perlu disalahkan. Kamu pernah bilang padaku jika hidup untuk masa depan bukan masa lalu, tapi kenapa sekarang kita mengungkit masa lalu?” sungguh, aku tidak menyangkan jika aku bisa berujar sebijak ini saat hatiku sedang menjerit. Terkadang menutupi perasaan dan menjadi sok bijak itu perlu. Aku tidak ingin kamu kembali mengungkin masa lalu kita. Kamu harus tahu selama 14 bulan aku mati-matian mengubur masa lalu kita rapat-rapat.

Aku masih masih ingat betul pertama kali kita bertemu. Bagiku, tidak ada yang lebih indah daripada melihat seorang lelaki sedang memainkan piano dengan penuh penghayatan. Pada beberapa nada tertentu kamu memejamkan matamu; menikmati musik yang kamu mainkan. Aku menyukai ekpresimu saat kamu salah memencet tust piano. Kamu begitu lihai menutupi kesalahanmu dalam memainkan piano. Mungkin semua orang di kafe ini tidak tahu jika nada yang kamu mainkan salah, tapi aku mengetahuinya, karena aku seorang pengamat musik.

Setelah selesai memainkan pianomu, kamu duduk di pojok café, duduk dengan khidmad sembari memandang kerlap-kerlip kota Surabaya. Kamu tampaknya sedang menunggu seseorang, aku bisa tahu karena setiap dua menit sekali aku melihatmu  selalu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganmu.

Aku melihatmu beranjak dari tempat dudukmu. Mungkin kamu lelah menunggu atau mungkin kamu hanya memiliki waktu yang terbatas karena harus menghibur di salah satu café lagi setelah ini. Kamu mengambil hanphone-mu yang tergeletak dimeja lantas berjalan begitu tergesa-gesa sehingga tanpa sengaja jaket yang kamu kenakan menyangkut dimejaku. Kamu membungkuk berkali-kali, meminta maaf padaku. Aku hanya tersenyum. Berkata jika aku menyukai permainmu meskipun aku mendengar beberapa nada yang salah. 

“Aku tidak menyangka jika ada orang yang mampu mengetahui jika aku salah nada” ujarmu. Dan deret kata yang mengalun dari mulutmu membuaiku dalam syahdu. Untuk kesekian kalinya kamu melirik arloji lalu kamu tersenyum dan pergi. Kamu pergi membawa sepotong hatiku. Dan sepotong hatiku yang lain penuh oleh perasaan bahagia.

Seminggu setelah pertemuan kita di café itu, Tuhan mempertemukan kita—lagi. Aku melihatmu, terkantuk-kantuk di sebuah perpustakaan. Aku ragu-ragu menghampirimu. 
“Bolehkah aku duduk di sini?” ragu-ragu aku bertanya, takut jika kedadatanku menganggumu. Kamu menoleh, mengangguk singkat.

“Aku tidak menyangka jika kita akan bertemu lagi Nona…” alismu terangkat, mungkin kamu bingung akan memanggilku dengan nama apa, karena sejak saat pertama bertemu kita belum berkenalan.

“Lianna, namaku Lianna”aku berseru. Entah kenapa saat melihat alismu yang terangkat, aku merasa kau adalah satu-satunya kebahagiaan yang Tuhan ciptakan untukku.

“Bowo” kamu tertawa, mengulurkan tanganmu. Dan tanpa berpikir panjang aku menjabat tanganmu. Aku masih ingat saat getar-getar itu hadir dihatiku, dipermukaan kulitku bahkan dialiran darah yg mengalir ditubuhku.

***

“Seharusnya dulu kita tidak begitu mudah menyerah atas perasaan kita. Dan memperjuangkan kebahagiaan kita” kamu ragu-ragu berkata demikian. Seorang pedangan asongan yang juga berteduh di halte menawarkan minuman hangat, kamu membeli dua gelas kopi dan segelas teh. Kamu memberikan segelas kopi padaku. Katamu kopi ini untuk penghangat badan, tapi bagiku kopi ini untuk penghangat hati. 

Diam-diam aku melirikmu. Kulihat kamu tengah meniup-niup kopi, meminumnya. Lalu meniup-niup teh, meminumnya. Dari dulu aku selalu menyukai caramu meminum teh dan kopi secara bersamaan. Terlihat unik dan lucu. Aku masih ingat kamu pernah bilang padaku jika kamu sudah biasa menjalani hidup yang hambar seperti kopi pahit dan teh manis yang diminum secara bersamaan. Begitu juga dengan cinta. Katamu, jika terlalu banyak memberi gula dalam cinta, bukan manis yang akan didapat tetapi pahitlah yang didapat. Sedangkan jika terlalu banyak memberi kopi maka tidak akan pernah bisa merasakan manisnya cinta. Yang menjadi masalah disini adalah  kamu orang yang begitu percaya dengan filosofi kopi dan teh mengajakku membicarakan masa lalu. Apa kamu ingin mengajakku berdamai dengan masa lalu? Atau kamu hanya ingin aku membuka kembali kenangan lama yg telah kukubur rapat-rapat?

 “Tidak ada gunanya mengungkit masa lalu Wok” sepertinya hujan sudah mulai reda, namun kilat-kilat petir masih terdengar. Beberapa orang yang berteduh di halte satu-persatu mulai pergi; kembali melakukan aktivitas mereka. Tinggal aku dan Bowo yang masih di sini, mencoba merangkai kembali kepingan-kepingan masa lalu.

“seharusnya dulu kita jujur tentang apa yang terjadi diantara kita, seherusnya kita tidak membiarkan kakekmu menikahi bibiku karena daripada mereka kita lebih dulu menjalin hubungan, kita yang seharusnya menikah bukan mereka. Rencana pernikahan yang telah kita rencanakan sebagai kejuatan untuk kakekmu--keluargamu satusatunya--dan keluargaku gagal begitu saja karena kedekatan kakekmu dan bibiku"

Aku tersenyum. Ah penyesalan pasti datang terlambat. “Untuk apa kita membicarakan ini Wok? Toh semua sudah terjadi. Kamu pamanku, dan aku keponakanmu. Jadi tidak sepantasnya kita membicarakan masa lalu, tidak sepantasnya kita mengusik kebahagiaan kakekku dan bibimu”
Kamu menunduk, patah-patah meminum kopi dan teh secara bersamaan. “Aku tidak baik-baik saja” katamu pelan, bersamaan dengan petir yang menggelegar kencang. Aku mengangkat alis. Sungguh, aku tak pernah mengira jika kamu juga mengalami patah hati atas kejadiaan ini.

Kamu mendesah pelan “Setelah upacara pernikahan itu aku menjalani hidup yang begitu pedih dari pada yang kau kira. Aku membutuhkan waktu 6 bulan untuk percaya dengan fakta jika kau tidak bersamaku lagi, jika wanita yg selama ini kucintai telah menjadi keponakanku. Dan butuh waktu 6 bulan pula aku mencoba melapangkan hati; menerima kenyataan jika semua yang pernah kita lalui hanya kenangan, semua yang kita lalui hanya kesia-siaan belaka. Namun aku gagal. Aku mencarimu dua bulan terakhir, tapi saat menemukanmu kau seolah tidak perduli terhadapku”. Akhirnya kamu mengatakannya. Entah mengapa aku merasa kalimat ini telah lama kau pendam. Dan aku merasa luka dihatiku yang belum mengering itu terbuka kembali.

“Lianna?” kamu membangunkanku dari keheningan yang selama beberapa menit ku buat. Aku tersenyum getir; menahan rasa sakit yang menohok ulu hati.

“Setahun lebih telah berlalu, setahun lebih kita mengorbankan perasaan kita, setahun lebih kita menderita karena keadaan ini. Sekarang dengarkanlah aku, ayo kita memperjuangkan cinta kita, ayo berbicara kepada kakekmu dan bibiku tentang kita. Tidak sepantasnya kita menderita seperti ini, tidak sepantasnya kita mengorbankan kebahagiaan kita demi orang lain”. Kamu berkata pelan, bahkan lebih pelan dari pada desau angin, tapi samar-samar aku masih bisa mendengarnya.
Aku mengernyitkan dahi “orang lain katamu Wok? Mereka kakekku dan bibimu. Kamu menganggap bibimu orang lain?

Kamu terdiam, menatap awan hitam di langit yang menggantungkan kesedihan. Hujan benar-benar telah reda. Orang-orang yang berteduh di halte ini juga sudah pergi. Namun kita masih duduk di halte ini, ditemani bulan sabit yang malu-malu mengintip di balik awan—seolah bulan sabit itu mengejek kita dan juga ditemani kesedihan yang dibawa oleh hujan

“Tapi aku tidak sanggup jika harus hidup seperti ini Na, kalau aku tidak bisa memilikimu di kota ini, ikutlah denganku merantau di kota yang begitu jauh. Kita akan menikah di kota itu”

Aku terbatuk, kaget dengan ide gilamu itu. Aku menghela nafas berkali-kali mencoba mengumpulkan keberanian “Bowo, pamanku. Aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku tahu bagaimana rasanya memiliki keponakan yang umurnya hanya terpaut 3 tahun denganmu, aku tahu bagaimana rasanya hidup demi kebahagiaan orang lain. Tapi apa kamu tidak sadar? Dulu kakekku sakit-sakitan tapi setelah bertemu dan menikah dengan bibimu, kondisi fisik beliau membaik. Kita memang mengorbankan perasaan kita untuk kebahagiaan orang lain, namun kita juga menebarkan kebahagiaan                                    Wok”.

“Aku tahu ini sulit, bagaimanapun juga dalam setiap helaan nafasku aku masih memikirkanmu, dalam setiap do’a yang kupanjatkan selepas sholat masih terselip namamu. Namun aku berusaha mati-matian untuk melupakanmu. Kamu juga harus berusaha mati-matian untuk melupakanku ya, Wok. Kamu  tahu Wok setelah upacara pernikahan itu aku menjadi tahu banyak hal, salah satunya aku tahu jika tuhan tidak menuliskan namamu dibuku takdirku”. 

Aku mendesah perlahan, menepuk-nepuk blazerku yang basah karena terkena hujan lantas beranjak pergi. Aku pergi meninggalkanmu yang tengah mematung sendirian di halte, biarkan aku pergi membawa sepotong kenangan kita. Aku mencintaimu tapi aku tidak ingin menorbankan kebahagiaan keluargaku hanya demi egoku saja. Semoga kamu bisa menerima kenyataan ini dan menemukan wanita yang lebih baik dari pada aku.





Minggu, 19 April 2015

Kumis

             
  “Jangan pernah sekalipun kau cukur kumismu, sayang”. Kata Dewi Ayu dengan wajah serius. Dewi Ayu memang sering mengucapkan kalimat ini, tapi tidak pernah sekalipun ia mengucapkannya dengan wajah seserius ini. Ma Gendik juga tahu jika Dewi Ayu benar-benar menyukai kumisnya. Hampir setiap hari Dewi Ayu memuji kumisnya, memandang kumisnya tanpa kedip, membelai kumisnya dengan penuh kasih sayang, bahkan  setiap malam Dewi Ayu mencumbu kumisnya hingga ia kesulitan bernafas.

                “Kenapa kau begitu menyukai kumisku dan melarangku mencukur kumis ini, Dewi?”. Tanya Ma gendik, Tangannya membelai rambut Dewi Ayu yang tergerai. Bau lidah buaya dari rambut Dewi Ayu mendominasi indra penciumannya.

                “Kau tampak gagah dengan kumis ini”. Dewi Ayu menjawab sambil terus mencumbu kumis Ma Gendik.

                Bagaimana mungkin Ma Gendik tampak gagah jika kenyataannya kumis yang selalu di bangga-banggakan Dewi Ayu  tak lebih dari kumis ABG yang baru saja tumbuh. Kumisnya tidak tertata rapi. Bahkan, kumisnya mencar-mencar seperti bubaran demo para buruh di Bundaran HI. Tapi bagi Dewi Ayu kumis Ma Gendik begitu indah, bahkan lebih indah daripada cincin berhias batu giok peninggalan neneknya saat perang dulu.

                Sore itu, Ma Gendik tengah berdiri di depan cermin sambil menggenggam gunting. Tidak. Ia tidak akan mencukur kumisnya, ia hanya ingin merapikan kumisnya . Kadang, Ma Gendik merasa iri pada Bapak-Bapak seumurannya yang memiliki kumis tebal seperti Komandan Pasukan Belanda saat perang. Yang Ma Gendik tahu, semakin sering mencukur kumis, semakin tebal dan menawan pula kumis tersebut.

                Sejak muda memang Ma Gendik sama sekali belum pernah mencukur kumisnya, karena larangan Dewi ayu. Mereka menikah saat umur Ma Gendik 15 tahun dan Dewi ayu 32 tahun. Ma Gendik yang berumur belia secara alamiah menuruti permintaan istrinya, termasuk permintaan untuk tidak mencukur kumis. Tentu saja, saat itu Ma Gendik belum tahu jika kumis yang tidak pernah dicukur akan tetap sama seperti kumis ABG. Saat Ma gendik berumur 28 ia baru sadar jika selama ini istrinya berkata culas. Istrinya telah membohonginya, istrinya membuat kepercayaan dirinya berkurang karena kumis ini.

Ma Gendik mengangkat guntingnya, siap memotong beberapa kumis yang mencar-mencar. Kumis yang membuatnya malu saat kenduri, tahlilan, dan pertemuan kepala rumah tangga di rumah Pak RT.

Dewi Ayu yang baru saja selesai mandi masuk kamar dan menjuampai pemandangan yang tidak ingin ia lihat selama ia hidup. Ma gendik berusaha mencukur kumisnya. Dewi Ayu yang melihat kejadian ini naik pitam. Ia menyeret suaminya ke kamar mandi, persis seperti seorang ibu yang memarahi anaknya karena bermain di kubangan sawah tempat kerbau mandi. Dewi Ayu mencambuk punggung suaminya; membuat kumis di punggung itu.

Ma gendik merengek, meminta ampun sekaligus menjelaskan apa yang terjadi. Namun kesalahpahaman Dewi Ayu seperti racun yang telah membinasakan cintanya pada Ma Gendik. Racun itu telah menulikan telinga Dewi Ayu, sehingga ia tidak mendengar rengekan minta mapun suaminya, membutakan mata Dewi Ayu, sehingga ia tidak bisa melihat jika kulit punggung suaminya telah mengelupas dan mengeluarkan darah, membuat otaknya beku, sehingga ia tega menyiksa suaminya sendiri.

                Racun yang terbuat dari kesalahpahaman Dewi Ayu terhadap suaminya telah menyatu dengan sempurna pada jiwa, fisik dan emosi Dewi Ayu. Ia tak peduli jika saat ini rengekan suaminya lebih keras daripada lolongan anjing dan kucing kawin. Ia tak peduli jika darah di punggung suaminya muncrat mengenai wajahnya. Yang ia tahu suaminya telah menghianati permintaannya, suaminya tidak sungguh-sungguh mencintainya karena permintaan semudah itu telah dilanggar.

                Dewi Ayu berhenti mencambuk suaminya saat tubuh suaminya limbung ke kiri dan rengekan minta ampun yang keluar dari mulut suaminya tak terdengar lagi. Dewi ayu panic saat menyadari suami yang paling ia cintai telah mati di tangannya sendiri. Dewi Ayu berjalan mondar-mandir menyusuri rumahnya. Sungguh, ia tidak siap mendekam dalam gelapnya penjara.


                Karena panik, Dewi ayu mengambil pisau di dapur. Tadi pagi pisau itu ia gunakan untuk memotong ayam. Dan kini, pisau itu ia gunakan untuk memotong tubuh suaminya menjadi 34 bagian—sesuai umur suaminya. Lalu memasukkan potongan potongan tubuh tersebut ke dalam koper. Lalu ia memotong-motong tubuhnya sendiri menjadi 51 bagian—sesuai umurnya. Lalu memasukkan potongan tubuhnya sendiri ke dalam koper.

Diikutkan dalam tantangan menulis #FiksiRacun dari @Kampusfiksi