add menu navigasi

Rabu, 29 Maret 2017

KampusFiksi dan Ketidakjelasan Hidup Saya.

Saya kira sepulangnya dari Jogya, semua hal akan baik-baik saja. Tapi yang saya kira dan harapkan salah. Semua masih runyam. Dan saya mempercepat proses resign dari pekerjaan saya karena alasan pribadi. Oke, Jum’at saya Jobless.


Saya selalu berpikir kalau saya tidak akan pernah bisa ke Jogya, tidak akan pernah bisa menjadi alumni KampusFiksi. Saya pernah dua kali mundur angkatan KampusFiksi karena urusan kerjaan yang berbelit-belit. Dan sebelum acara KampusFiksi 20 digelar saya berkata pada diri saya sendiri “Aku nggak bakal ikhlas kalau nggak ke Jogya, kalau gagal menjadi alumni KampusFiksi, kalau nggak ketemu Kak Reza idamanque (Jangan bilang Mas Ikal kalau saya nulis ini).

Dua minggu sebelum acara KampusFiksi saya terpaksa meng-cancel tiket kereta. Karena di kantor “katanya” BigBoss datang dan saya tidak bisa cuti. Tapi, seperti yang saya bilang diawal. Saya tidak akan pernah ikhlas kalau gagal menjadi alumni KampusFiksi. Jadi, saya menghalalkan segala cara.

Karena saya terlalu banyak akal dan cantik. Tentu saja. Jadi, 2 hari sebelum acara KampusFiksi saya pura-pura sakit. Tapi kepura-puraan sakit tersebut membuat saya bangkrut. Tapi nggak pa-pa yang penting bagi saya, saya sampai dengan selamat di Jogya, tanpa ada seorangpun yang tau. Bahkan saya tidak izin pada Ibuk.

Saya tiba di Jogya pukul 7 pagi di terminal Jombor, dan saya tidak meminta Mas Kiki menjemput saya. Saya mandiri sekali ya. Saya malah naik becak, keliling Jogya. Saya merasa menjadi Bule. Tapi saya sedih, karena tiba-tiba saya menjadi bangkrut.

Saya bukan orang yang langsung akrab dengan orang baru—seperti Bella. Saya malas ngomong dan punya kegemaran misuh-misuh. Sialnya, setelah mendengar saya misuh dan membaca postingan yang berisi pisuhan, Mbak Riya mengelus dada dan ditambahi dengan Mbak Eldina yang berkometar “Di Jember orang misuh biasa, tapi kalau cewek jarang sekali”. Dan saya tidak memiliki hasrat misuh selama di Jogya. Padahal saya ingin mendirikan museum pisuhan di semua tempat yang saya kunjungi.

Teman-teman yang lain sudah banyak sekali yang memposting apa saja yang kami dapat selama di Jogya. Dan saya tidak akan memposting hal tersebut, karena tentu saja saya pelit ilmu—saya khilaf nulis ini.

Yang jelas, KampusFiksi mempertemukan saya dengan Agus Noor dan Mas Reza idamanque—dua orang ini pernah saya buatkan surat. Ngomong-ngomong soal surat saya masih kesal dengan Mas Wawan yang bochor sekali. Dia dengan sengaja membeberkan surat untuk Mas Reza yang saya posting sebulan yang lalu. Saya Cuma ingin bilang, Mas Wawan terbaeq, mending Mas jadi admin di akun lambeturah, lambenyinyir dan sebagainya, dan lainnya.

Hal yang paling membekas di ingatan saya adalah tidur rame-rame, berjejer, sama persis seperti pindang. Entah kenapa selama di KampusFiksi, saya susah tidur. Biasanya saya tidur 10-12 jam perhari dan di KampusFiksi hanya 5 jam. Mungkin karena atmosfir yang berbeda atau mungkin karena Mas Reza begitu menyilaukan.

Malam terakhir KampusFiksi—bagi saya, kerana saya pulang duluan. Beberapa peserta dan Alumni ber-WW-ria. Dan saya orang termichin digame tersebut. Pertama, saya ngaku-ngaku menjadi guardian angel, kedua saya lupa saya menjadi apa, yang ketiga saya menuduh Mbak—eh lupa siapa namanya—sebagai WW padahal saya melihat kartunya, keempat saya membuka kartu Mas Ubay dan tidak sadar kalau dia SK.

Game tersebut usai dengan terpaksa, karena sudah larut dan kami masih teriak-teriak. Setelah itu, berlanjut dengan Mas wawan membocorkan surat terlaknat yang pernah saya buat pada Bella dan Mas Fahkri dan setelah itu kami bergosip tentang hal-hal nggak penting.

Eh iya, saya hampir lupa, saya kesal dengan Mbak Ela—maaf saya nyeplos. Gara-gara Mbak Ela saya pulang basah kuyup. La masak, saya dijemput rombongan di Taman Pintar, lari-lari menembus hujan ternyata pintu mobil dikunci dan tidak kunjung dibukakan. Untung saat itu saya habis pacaran, kalau tidak, semua pisuhan saya keluar.

Tapi saya bahagia, terlepas dari kebangkrutan saya sepulangnya dari Jogya.
Terimakasih KampusFiksi atas ilmunya. Maaf saya tidak bisa berbagi di sini, karena teman-teman yang lain sudah banyak yang menceritakan. Atau kita bisa bertemu, ngopi bareng. Tapi kalau saya misuh-misuh kamu biasa saja ya. Doakan saya istiqamah menulis dan jika tidak berhasil membuat novel setidaknya cerpen saya dimuat di cerpen koran. Tidak muluk-muluk, radar Bojonegoro nggak pa-pa.

Terimakasih KampusFiksi  sudah mempertemukan saya dengan orang-orang hebat.

Terimakasih KampusFiksi karena sudah menghadirkan 3 jam ter-asu di hidupku—baca nulis 3 jam.

Terimakasih KampusFiksi karena selama 3 hari saya tidak misuh dan dosa saya tentu berkurang.
Terakhir, terimakasih KampusFiksi karena saya bisa nyuri-nyuri waktu pacaran saat di Malioboro. Pejuang LDR yang bertemu 4 atau 3 bulan sekali, memang begini.

Semoga kita semua tetap menulis.

Salam.


Miura

Minggu, 12 Maret 2017

Dialogue (3)

"Kamu nggak pengen ke Jogya dik, kesana berdua"

"Ngapain?"

"Plesir. Nanti nginep di tempat Bude Woshi"

"Kita kayak mau bulan madu". Kamu terdiam, mengadu-aduk es teh dengan pandangan kosong. Dan aku gemas melihatnya.

"Mas"

"Eh?"

"Kalau aku nanya tempat mana yang ingin kamu kunjungi, Mas Ikal mau kemana?"

"Aku pengen ke Jogya, lalu ketemu Bude Woshi"

"Coba deh mas, pikirkan ulang. Apa pantas menyebut nama wanita lain di depan pacarmu".

Kamu tertawa. "Bude Woshi bukan wanita dik, dia Bude-bude".

Aku diam, mengayunkan kaki, mengadu-aduk teh lalu mengayunkan kaki lagi.

"Kamu mau kemana?"

"Aku pengen datang ke tempat yang banyak mendoan gratis"

"Otakmu isinya cuma makanan"

"Kamu tau mas, dimana tempat itu? Di kampusfiksi, di Jogya dan aku mau kesana sendiri".

"Rasanya itu kurang jauh"

"Biarin, kan anak kecil nggak bisa ucul jauh sendirian"

Jumat, 10 Maret 2017

Dialogue (2)

"Aku nggak mau cerita tentang cinta monyet. Kekanakan. Lebay. Aku nggak mau nginget-inget masa lalu"

"Tapi kan kamu suka tantangan". Aku cemberut. Memutar kepala mengingat siapa orang beruntung yang menjadi cinta monyetku.

"Emm, sepertinya cinta monyetku Harry Potter. Eh maksudku si Danial. Tapi setelah dewasa dia bukan cintaku lagi. Aku nggak suka orang berewokan. Aku kadang mikir kalau dicium orang berewokan pasti geli"

"Kayaknya otakmu perlu dirukiah, biar nggak mesum"

"Lalu, lalu saat masa putih-biru. Orang beruntung yang mendapat predikat cinta monyet, Lee Teuk, leadernya Super Junior. Lucu ya aku pernah suka sama orang yang umurnya beda 13 tahun denganku...

"Lalu beralih ke Kento Yamazaki, ndak tau sih, aku suka aja lihat dia. Eh aku juga pernah suka G-Dragon, leader BigBang. Aku bahkan pernah mimpi basah sengannya"

"Astagfirullah, otakmu terlalu mesum. Untuk ukuran wajah seperti wajahmu"

"Jadi maksudmu, wajah dan otakku tidak berjalan sinkron? Yaudah, putus"

"Kamu kok senang banget ngomong putus?"

"Habisnya, kan aku pacarnya Mas, kenapa nanya cinta monyet?"

Dia tertawa renyah sekali dan aku pura-pura cemberut. "Eh, kamu curang ya, cinta monyetmu siapa? Dari tadi cuma cerita deretan artis"

"Dia lelaki yang menjulang tinggi dengan hidung portugis. Dia nggak pintar menyanyi tapi aku pernah memaksa dia nyanyi lagunya Bruno Mars. Ih kenapa jadi ngomongin ini. Nggak penting ah"

Rabu, 25 Januari 2017

Buat Aa' Reza Nufa

Salam.

Sebelumnya kita belum pernah kenal ya Kak, eh Mas, eh Bang. Mau di panggil apa? Ngg.. Aa’ Reza saja ya. Biar kayak Aa’-aa’ gemes penceramah agama. Saya sering membuka akun facebook Aa’ Reza setahun yang lalu, mengikuti catatan perjalanan yang Aa’ tulis. Aa’ jangan percaya diri dulu, sekarang saya sudah tobat karena stalking facebook Aa’ teh nggak ada faedahnya buat saya. Tapi kalau Aa’ melakukan perjalanan awwwrrr lagi saya mau mendaftar jadi stalker Aa’ lagi.


Saya berpikirnya keren sekali ciputat-rinjani jalan kaki, nenteng tas gede, pacarable banget—saya khilaf nulis ini. Tapi setelah beberapa hari predikat pacarable yang saya berikan cuma-cuma ke Aa’, saya hilangkan. La wong Aa’ jorok. Jarang ganti sempak selama perjalanan pasti selangkangannya penuh daki. Ih saya ngeri.

Gimana Aa’ nggak jomblo. La wong Aa’ nggak menjaga aset. Siapa juga perempuan yang mau. Jangankan Dian Sastro, Dijjah Yellow saja nggak mau a’ punya pacar jarang mandi.

Ngomong-ngomong a’ saya gemes lihat foto Aa’ sebelum berangkat naik haji ke rinjani. Senyum lebar di depan rumah sambil nenteng tas gede. Sialnya, potongan rambut Aa’ teh lucu-lucu culun kayak Seungri BigBang.

Selama saya membaca catatan Aa’ saya selalu berdoa Aa’ teh mendapat jodoh sepulang dari rinjani. Entah teman seperjalanan yang tidak sengaja bertemu atau perempuan pedalaman pacitan yang aduhai cantiknya naudubilahisetan. Tapi Aa’ Reza masih jomblo. Ini karena Aa’ terlalu selektif dalam memilih atau karena Aa’ kurang memikat alias ndak laku.Eh maaf anak kecil keceplosan.

Semoga lekas menemukan pasangan ya a’ dan lekas menikah. Tolong jangan berfikir kalau saya termasuk seorang yang menjadikan pernikahan satu-satunya tujuan hidup. Saya Cuma kasian pada tangan Aa’ yang selalu saja menjadi budak seks.

Saya cuma pesan, Aa’ rajin mandi ya, kalau perlu saya belikan sabun lifboy yang isi tiga, biar Aa’ rajin mandi. Jangan berantakan karena bagaimanapun juga semua perempuan menyukai lelaki yang rapi.

Sampai ketemu ya a’ di Kampusfiksi angkatan—eh keberapa ya, pokoknya saya masuk waiting list. Atau uwus-uwusin Pak Edi biar bikin Kampusfiksi road to Bekasi. Jangan Kampusfiksi road to jakarta.Bekasi Jakarta jauh a’.

Terakhir semog Aa’ selalu sehat dan tetap berlidah tajam.


Miura. 

Saya Begini, Bukan Begitu

Saya cengeng bukan main. Semua orang selalu mengganggap saya kuat dan tegar. Bahkan satu, dua diantaranya terang-tengangan berkata ”Seorang Wulida, mana mungkin bisa nangis”. Padahal sebenarnya saya ini apa. Hanya dibentak saja saya nangis, la wong seumur-umursaya belum pernah dibentak. Diabaikan saya juga nangis, di depan orang banyak malah. YaAllah saya pernah alay.

Selasa, 24 Januari 2017

Yang Membanggakan Bagi Saya, Belum Tentu Membanggakan Bagi Orang Lain

Saya untuk pertama kalinya telat memposting tantangan 10 hari menulis dari kampus fiksi. Jujur saya bingung mau menulis apa karena tidak ada satupun hal yang  bisa saya banggakan dan dibanggakan dari diri saya.

Dulu, Ibuk sering sekali bilang “Nanti kalau sudah besar jadi orang kantoran ya Nduk, pakai rok sepan dan sepatu berhak”.Dan saya selalu menjawab “nggak mau, aku pengenny Jdi penjaga pepus”. Lalu ibuk tertawa dan semua orang dirumah tertawa.

Dulu saya tidak paham mengapa mereka tertawa, saya kira tawa mereka mendukung cita-cita saya. Tapi setelah saya mulai berumur saya paham tawa mereka karena menganggap cita-cita saya konyol.
Sekarang saya sudah menjadi orang kantoran, tapi saya tidak memakai separu berhak daan rok sepan. Saya mematahkan anggapan Ibuk kalau orang kantoran bersepatu hak dan memakai rok sepan karena saya lebih sering nyeker—kalau didalam ruangan, dan memakai celana kolor.


Tapi bagaimanapun juga saya masih memimpikan menjadi penjaga perpus. Bekerja dikelilingi buku tentu menyennagkan. Tapi semoa orang bahkan keluarga saya,menganggap hal itu konyol.

Tulisan yang Menguatkan

Saya bukan orang yang kuat. Saya berpikir keras tentang apa yang menguatkan saya. Dan sialnya, yang menguatkan saya justru yang menjatuhkan saya.