Dulu saat kencan pertama kita—maksud saya saat kita menghabiskan
sepiring tempe dan segelas nutri sari, tanpa teman-teman, Mas pernah bertanya
bagaimana kekasih dambaan saya. Dan saya hanya tersenyum.
Saya ingin menjawab kekasih dambaan saya seorang lelaki yang
fashionable, tengil, dan punya senyum yang indah seperti Ji Young atau seorang
lelaki yang dengan wajah bad boy, rambut acak-acakan, tengil, acuh dan menggemaskan
seperti Kento Yamazaki. Tapi urung, saya takut ketidakjelasan dan keanehan saya
terlihat saat kencan pertama.
Dari dulu saya selalu ingin memiliki kekasih seorang seniman
entah itu penari, musisi ataupun penyair dan beruntungnya saya mendapatkan Mas,
seorang penyair yang mudah sekali memikat hati wanita dengan puisi, tapi
sepertinya hanya saya yang terpikat.
Saya ini pemalas, malas mandi, malas makan malas keluar
rumah. Jadi saya tidak pernah sekalipun ingin memiliki kekasih yang rajin apel,
rajin ngajak kencan dan lainnya dan sebagainya.
Saya tidak pandai berorah raga, tidak pernah naik gunung
bahkan jalan kaki dalam jarak yang “jauh” tidak pernah. Sebenarnya saya ingin
memiliki kekasih seorang petualang—naik gunung sana-sini, jalan kaki ratusan
mil, jarang mandi, jarang ganti sempak. Maaf saya tidak sedang membicarakan Kak
Reza Nufa ya. Tapi yang jadi masalahnya, saya tidak akan pernah bisa
mengimbangi jiwa petualangnya. Jadi tipe kekasih petualang saya coret
jauh-jauh.
Saya suka buku dan baunya—tapi saya lebih suka kamu Mas. Eng..
saya ingin punya kekasih yang sama gilanya dalam membaca, tapi gila membac
asaja, jangan gila menimbun buku.
Yang lebih spesifik tentu seiman, jadi terpaksa saya mecoret
Ji Young dan Kento—tapi kalau mereka pindah agama saya memasukkan kedaftar lagi.
Ndak ngerokok, punya hidung portugis, bagaimanapun hal ini menurun ke anak. Menjulang
tinggi, biar kalau menikah dan saya pake hak tinggi dia masih tetap menjulang
tinggi. Malas mandi, rapi, berkumis tipis, dan bisa main minimal satu alat
musik dan renang.
Tapi saya sudah bahagia punya Mas. Terimakasih banyak Mas,
sumbangan tulang rusuknya, aku terharu. Terimakasih juga buku puisi-nya. Aku
belum pernah di-spesial-kan seperti Mas memperlakukanku.
Kalau Mas baca ini pura-pura nggak tau ya, aku nanti malu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar