add menu navigasi

Sabtu, 24 September 2016

Apa yang Saya Kejar Dihidup Saya?

Saya akhir-akhir ini memikirkan banyak hal. Entahlah, padahal saya orang yang acuh, saya hanya peduli pada diri saya sendiiri dan orang yang saya anggap penting dihidup saya. Tapi akhir-akhir ini saya sedikit berbeda. Mungkin karena saya sedang membaca 86-nya Mbak Okky. Saya baru membaca sampai halaman 60-an dan berhenti karena kesibukan saya. Saya tidak tahu, saya ini benar-benar sibuk atau saya hanya pura-pura sibuk.


Lantas apa yang saya kejar dihidup saya? Saya tidak tahu. Yang jelas saya menjalani hidup seperti Arimbi. Hidup saya dikendalikan oleh waktu. Bangun pukul sekian, mandi pukul sekian, keluar kost pukul sekian, sarapan di angkot, bertemu dengan orang-orang yang sama dan dokumen-dokumen yang sama, pulang pukul sekian, berganti pakaian lantas berangkat kuliah, pulang kuliah pukul sekian, makan malam di angkot, sampai kost pukul sekian denngan mata yang sudah benar-benar lelah.

Saya benar-benar tidak tahu apa yang saya kejar. Saya tidak mengejar jabatan, sungguh. Cita-cita saya benar-benar sederhana, menjadi istri yang solehah. Tapi yang terjadi apa yang saya cita-citakan berbanding terbalik dengan hidup saya. Bagaimana saya bisa menjadi istri yang solehah kalau setiap harinya saya dikejar-kejar waktu.

Setiap pagi di office, saya berteman dengan excel, kalkulator dan dokumen-dokumen tebal yang penuh dengan angka itu-itu saja. Malamnya di kampus saya ketemu lagi dengan excel, kalkutator dan buku-buku serta tugas-tugas yang harus saya hafalkan dan kerjakan.

Dulu saya selalu menyempatkan untuk membaca, dimanapun dan kapanpun. Bahkan saat buang hajat saya selalu membuka lakonhidup.wordpress.com. Tapi sekarang? Membaca beranda facebook-pun tidak sempat.

Saya muak dengan kesibukan yang saya buat sendiri, lantas apa yang harus saya lakukan untuk keluar dari belenggu yang saya buat sendiri. Menikah? Saya tidak yakin bisa menjadi istri yang baik diusia yang saya rasa masih terlalu muda—maaf lagi-lagi saya membicarakan usia. Begini, bagi saya menikah bukan perkara tentang ranjang dan kebutuhan biologis. Kalau hanya perkara ranjang itu masalah gampang, bisa dipelajarai seiring berjalannya waktu. Tapi, bagaimana dengan perkara kewajiban-kewajiban yang harus saya lakukan setiap hari.

Kalau saja kewajiban-kewajiban seorang istri berupa merekap barang impor yang masuk, merekap penjualan perbulan, mengisi pajak online dan lainnya dan sebagainya saya sudah katam. Tapi, ah.. saya memang bukan kandidat istri yang baik.

Saya tidak pernah tega meracun suami saya dengan masakan rasa neraka yang saya buat. Saya juga tidak pernah sekalipun mempunayi keinginan beli makanan diluar—kalau tidak kepepet. Bagi saya makanan diluar itu masakan ‘orang lain’. Kalau setiap hari suami saya makan masakan ‘orang lain’ bisa jadi suatu saat perkara ranjang dia juga memiliki keinginan melakukannya dengan orang lain. Ih saya ngeri sendiri membayangkannya.

Masakan yang bisa saya buat dengan rasa yang wajar hanyalah mie instan dan ceplok telur. Yang lain jangan tanya, bahkan sambal yang saya buat keasinan.

Saya ingin menjadi istri yang benar-benar seorang istri. Menyiapkan sarapan, mengurus anak yang akan berangkat sekolah, beres-beres rumah. Lantas saat suami saya bekerja dan anak saya sekolah sepertinya asik kalau saya mengisi kebosanan dengan bekerja disebuah penyewaan buku, merekap data peminjaman dan pengembalian. Tentu menyenangkan bekerja dikelilingi banyak buku. Dan sorenya saya kembali kerumah dan menjadi istri yang baik.

Tapi disini masalahnya adalah kapan saya bisa belajar menjadi istri yang baik—paling tidak belajar masak makanan dengan rasa yang wajar—kalau setiap harinya saya sesibuk ini.

Semoga setelah ini saya paham, perihal apa yang saya kejar dihidup saya




Tidak ada komentar:

Posting Komentar